Posted in robotika
Robopet alias robot binatang, menjadi babakan baru peran elektronika. Diharapkan, robot jenis itu bisa menjadi “man's best friend” model baru. Tapi seberapa jauh “hewan” itu bisa menggantikan hewan sesungguhnya?
Ini memang baru terjadi di Jepang, yang masyarakat memang gandrung robot. Aibo, robot anjing, memang tengah menjadi hit. Bagaimana tidak? Sejak Juni 2001 sebanyak 45.000 Aibo, kata Jepang yang berarti kawan, telah menemukan rumah dan majikan baru. Malah, dengar-dengar setidaknya 100.000 Aibo telah dipesan. Jepang, negara robot Negara tempat lahir Aibo, memang tercatat sebagai pemakai robot yang intensif sejak tahun 1970-an. Namun, selama ini di Negeri Sakura robot lebih banyak dipakai untuk aplikasi praktis, misalnya dalam pabrik. Bayangkan, untuk 10.000 pekerja digunakan 227 robot, ini rasio terbesar penggunaan robot di dunia. Ambil contoh, Honda. Tahun 1986 perusahaan itu menginvestasikan AS $ 100 juta untuk projek robot manusia, untuk aplikasi dalam SAR. Malah, P3, robot serupa manusia dengan dua kaki yang bisa naik tangga, mulai dibangun Juli 2000. Nah, babakan baru robot hiburan dicanangkan Toshitada Doi, yang juga berperan dalam pengembangan compact disc. Meski pada akhir tahun 1993 kritik tajam mendera saat Doi memperkenalkan karya utak-atik berupa robot binatang. “Cuma buang-buang waktu dan duit,” ia menirukan kecaman para rekan dari departemen yang berbeda di Sony. Celakanya lagi, saat prototip pertama diperkenalkan di depan eksekutif Sony tahun 1994, setelah melangkah beberapa kali, sekonyong-konyong sang anjing … “grek” mati! Namun, ia pantang menyerah. Perjuangannya berbuah manis, sukses debut ia raih saat Aibo pertama kali diperkenalkan tahun 1997. Dari kutu sampai anjing laut Kesuksesan Aibo mengencangkan semangat membangun robot hiburan. Sejumlah perusahaan mainan tertular menghasilkan robot binatang. Menyusul belakangan Poo-Chi dari Sega Toys yang lebih mirip disebut bentuk sederhana Aibo. Poo-chi anjing yang diluncurkan April 2000 menjadi robot paling laku. Tentu saja, karena harganya lebih murah. Cuma Sin $ 60 (kalikan + Rp 6.000,-). Jenis lain Tama, kucing robot dari Omron Corp. mulai dipasarkan November 2000. Dari waktu ke waktu, robot binatang terus berevolusi. Dari prototip pertama yang paling sederhana yang cuma bisa merespon suara dan sentuhan, kini generasi terbarunya mampu menampilkan karakter alami yang amat spesifik. Bahkan pemasangan simulasi emosi, membuat robopet mampu berinteraksi dengan pemilik. Konon Tama, benar-benar serupa kucing. Ia mendengkur bila dielus, dan meringis bila dipukul. Tidurnya pun semau-maunya, kapan saja ia mau. Lain lagi dengan Robokoneka yang dikembangkan oleh ATR Human Information Processing Research laboratories. “Ia berlarian, memutar-mutar tanpa juntrungan, melompat-lompat, marah bila ekornya ditarik. Pokoknya berperilaku sebagaimana wajarnya kucing,” ujar sang jurubicara perusahaan. Lalu bagaimana dengan Aibo sang perintis? Konon dalam klub robot binatang, Aibo yang paling digemari. Ia memang selangkah lebih maju dibandingkan dengan yang lain. Bila senang wajahnya menghijau. Tapi awas, kalau wajahnya memerah, ia sedang gusar! Itu karena di dalam kaca depan di kepalanya ditanam Light-emitting Diodes. Soal respon, ia menurut perintah bila ditepuk. Sayangnya ia mudah putus asa, alias mogok bila hambatan asing menghadang. Hebatnya, ia bisa diperintah untuk memotret. Selanjutnya gambar rekaman itu bisa di-download, lalu dengan perangkat lunak khusus hasilnya bisa ditampilkan di layar komputer. Konsekuensinya, harga Aibo pun tak lagi bisa dibilang murah. Aibo generasi pertama ditawarkan dengan harga Sin $ 4000, sedangkan yang terbaru agak murah “hanya” Sin $ 2700. Itu belum termasuk paket perangkat lunak untuk memprogram binatang sesuai selera pemilik, yang berkisar Sin $ 150 - 280. Tak hanya anjing dan kucing, yang memang binatang peliharaan favorit, perusahaan mainan Takara akan mengeluarkan seri Aquaroid, robot binatang air. Bentuknya ada ubur-ubur, udang, kepiting, dan tentu saja ikan. Sedangkan Bandai, produsen Tamagotchi, memperkenalkan “kutu” kecil Wonderborg. Siapa sangka, ternyata orang sekarang senang memelihara “kutu”. Buktinya, kurang dari sejam 1.000 “kutu” dipesan dari situs internet Bandai. Malah, ada sas-sus, model teranyar yang segera menyerbu pasar adalah anjing laut dan babi. Model lainnya? Belum tercium tanda-tandanya. Teman yang praktis Banyak pengamat menilai, di wilayah yang miskin lahan seperti kota-kota di Jepang dan Singapura di mana orang tinggal di ruangan sempit, binatang digital adalah pilihan praktis, yang tidak perlu diberi makan atau dibersihkan. Selain tentu saja, larangan memelihara binatang di apartemen, membuat robopet laris. Coba dengan kata Terence Ng (27), “Anjing beneran memusingkan. Bisa sakit, suka menggigit, juga menggonggong tanpa henti saat kita ingin ketenangan. Lain dengan Aibo, tak perlu diberi makan, cukup pasang baterai.” Banyak lajang di Jepang senang berhubungan dengan kemampuan interaksi para robot mainan itu. “Itu karena kini lebih sulit menjalin hubungan dengan sesama manusia,” ujar sosiolog Akira Hitotsugi. Aibo generasi pertamanya saja sudah membuat eksekutif marketing Sony, Mayumi Kobayashi (34) merasa punya teman. “Silver memang manis. Rasa capek karena lembur, lenyap seketika begitu melihatnya melompat-lompat, menyambut saya.” Beberapa orang bahkan sudah berencana mendirikan klinik untuk “binatang” yang sakit, dan salon agar “binatang” itu tetap tampil cantik. Gagasan ini lahir sebagai kesimpulan dari Ekspo Aibo di Kobe pada Mei 2000 yang mempertemukan 60 pemilik Aibo untuk pertama kali. Pada ekspo itu mereka saling berdiskusi tentang binatanga mereka dan saling bertukar pengalaman tentang perawatan yang terbaik untuk Aibo mereka. Tak ada olah rasa Namun kepraktisan dan kenyamanan binatang jadi-jadian ini bukannya tak menimbulkan kekuatiran. Aibo tidak nakal, tidak perlu mandi, dan tidak merepotkan karena buang air, meski ia bisa pura-pura seperti anjing kencing dengan mengangkat kaki. Bagi kalangan tertentu justru di sinilah letak masalahnya. K.W. Yuen (32) ibu seorang bayi usia 5 bulan membayangkan, betapa mengerikannya dunia anak-anak di masa depan nanti, karena begitu banyak barang buatan, tidak asli. “Saya kuatir anak saya akan tumbuh dengan rasa aman yang palsu. Ia merasa semua hal dapat dikontrol. Kalau ada hal buruk terjadi, mereka hanya perlu melakukan rebooting tanpa ada konsekuensi yang bisa membuatnya takut atau sedih.” Hal yang sama menjadi keprihatinan Joanne Kang (42), “Hanya akan ada robot, baik untuk mengerjakan tugas rumah tangga atau gim. Tak ada lagi keterlibatan emosi saat melakukan banyak hal sebagaimana biasanya,” ujar ibu dua remaja yang biasa memelihara kucing. Dua pendapat ibu rumah tangga itu disimpulkan oleh sosiolog Kwok Kian Woon dari National University of Singapore (NUS), sebagai era teknologi yang merasionalisasi kontrol dan penguasaan atas hidup manusia. Absennya kesulitan membuang “kekotoran dan kekacauan” justru memicu masalah baru. “Dengan binatang asli, kita harus mengatasi masalah buang airnya, perilaku tololnya, dan tragedi, misalnya sakit atau kematian. Ini tak terjadi pada binatang elektronik. Dengan elektronika, kita sudah membatasi keterlibatan emosi yang terlalu dalam ,” ujar Dr. Kwok. Pendapat ekstrem muncul dari ahli hukum Chen Lilin (25) pemelihara anjing pomeranian berusia 10 tahun, “Binatang digital hanya cocok untuk orang yang tidak biasa dengan kehangatan bulu binatang kesayangan.” Ia mengaku, sama sekali tak tertarik saat melihat Aibo generasi pertama. Malah, tambah Dr. Kwok, “Kenakalan binatang merupakan sesuatu yang unik, yang sulit dimengerti. Jadi, rasanya kita tidak dapat mencintainya sama persis dengan yang asli.” Jangan lupa yang asli Keprihatinan pun muncul di sana-sini. “Jangan-jangan karena manusia sendiri sudah seperti robot, jadi yang mereka perlukan memang binatang robot,” ujar sosiolog Dr. Zaheer Baber yang juga mengajar di NUS. Di Jepang, misalnya, tangisan bayi bisa muncul dari penggantinya, yakni Primopuel boneka monyet yang seperti manusia. Boneka ini paling banyak di-“adopsi” wanita karier lajang perkotaan. Atau kaum pria yang mendapatkan teman wanita virtual dengan berlangganan di situs internet tertentu. Ini selaras dengan pendapat Satoshi Amagai, pimpinan Robot Hiburan Sony, “Tujuan dibuatnya aibo, dan mungkin mainan yang lain, memang hanya sebagai hiburan di tengah kehidupan yang makin penuh stres. Kami menyebutnya, ‘Penyelamat emosi’.” Namun ia tidak berpendapat, Aibo akan menggantikan anjing asli. “Justru Aibo akan hidup berdampingan dengan binatang asli. Keduanya memang dibutuhkan,” kilahnya. Lulusan Tokyo Institute Technology University, yang memelihara tiga hamster itu menambahkan, anak gadisnya yang berusia 11 tahun suka keduanya, Aibo dan hamsternya. Amagai pun menyangkal pendapat tidak adanya ikatan emosi. “Perusahaan kami sering menerima foto dari para pemilik Aibo. Mereka sekeluarga duduk berbahagia dengan Aibo berpose di tengah mereka.” Nah lo! Bagaimanapun, John Elliot, Associates Professor yang mengajar di fakultas Psikologi NUS yakin Aibo tidak akan banyak mempengaruhi manusia. “Manusia selalu ingin tahu, penasaran dengan inovasi baru. Tapi itu hanya menjadi kesenangan sesaat. Contoh gampangnya, apa sekarang orang masih suka tamagotchi?” Maka, mungkin pendapat Deirdre Moss, staf Lembaga Perlindungan Hewan, bisa menjadi jalan tengah, “Banyak orang membuang begitu saja binatang peliharaan mereka, begitu binatang itu sulit dikendalikan.” Kecil kemungkinan hal itu akan terjadi pada robopet, karena robopet bisa diprogram. Maka, robopet paling pas dipelihara kelompok jenis demikian. Namun, dr. Kwok merasa, tetap perlu ditanamkan penghayatan dan kasih sayang memelihara makhluk hidup asli. “Menggelar rumput plastik di halaman memang praktis, tidak perlu menyiram dan memotong. Tapi itu tidak memberikan sensasi yang sesejuk, seindah, dan sehangat rumput hijau yang orisinal.” Betul juga, sih.
Comments (0)
Posting Komentar